Suara Hati Anak Rantau dalam Lingkungan Startup
Negeri ini butuh lebih banyak startup di luar Jawa
Apa yang pertama kali kamu bayangkan saat saya bilang saya sedang bekerja di startup?
Sebagian besar kamu mungkin akan membayangkan kalau saya bekerja di tempat yang fun, asyik dan penuh dengan anak muda. Well, hal tersebut memang tidak salah. Kalau kamu bekerja di startup, lingkungan kerjanya memang seperti itu. Tapi, buat saya, the ultimate perks of being a startup employee adalah tidak perlu ke kantor dengan batik atau kemeja formal! Haha
Walaupun begitu, jangan menganggap kalau load pekerjaanya akan santai. Tentu tidak seperti itu. Lingkungan kerjanya justru sangat dinamis. Kamu harus bisa mengerjakan banyak hal dengan tenggat waktu yang pendek. Sebagian orang mungkin akan merasa tertekan dengan pace kerja seperti ini. Menurut saya, that is where the beauty lies.
Buat saya, saya justru lebih merasa tertekan saat ditanya handai taulan tentang apa pekerjaan saya saat sedang lebaran.
Little bit about my self
Sebelum bercerita lebih jauh, mari saya ceritakan sedikit tentang diri saya. Saya lahir dan besar di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Namun, saat menginjak SMA, saya pindah ke Bogor lalu berkuliah di Jakarta.
Saat sedang berkuliah di Jakarta, saya mendapat kesempatan untuk mengambil di Oregon State University. Disinilah, pertama kali muncul keinginan saya untuk bisa berkarier di startup.
Saya bisa bilang kalau culture startup di Amerika itu sudah sangat matang. Disana, bekerja di startup, bahkan di startup yang kecil dan masih bootstraping (dibiayai sendiri dan tanpa external funding) sekalipun, terasa sangat keren.
Pekerja-pekerja startup dianggap orang-orang yang sanggup melakukan apa saja. Di suatu waktu bahkan mungkin mereka dapat mengubah dan mendisrupsi dunia yang kita kenal sekarang.
Sayangnya, hal ini tidak atau belum berlaku di Indonesia. Di negara ini, bekerja di perusahaan BUMN dan PNS dipandang sebagai sebuah pencapaian paling hakiki. Status sosial kita dan keluarga besar pun ikut meningkat jika kita bekerja di BUMN atau menjadi PNS.
Oleh karena itu, saat kembali ke Indonesia, saya akhirnya “dengan terpaksa” menjadi karyawan dari sebuah Bank BUMN terbesar.
Di bank tersebut, saya ada di unit business wealth management and investment product. Di sana saya belajar banyak hal soal capital market, makro-ekonomi dan juga produk-produk investasi. Selain itu, saya juga sedikit banyak belajar tentang peta perpolitikan negara karena iklim investasi berkaitan erat dengan siapa pemegang tampuk kepemimpinan dari suatu negara.
Tidak terasa saya bekerja di perusahaan tersebut sudah hampir 3 tahun. Saya merasa sudah cukup banyak belajar. Saya ingin mencoba tantangan baru di luar sana. Alhasil, dengan berat hati saya mengajukan resign dari tempat saya bekerja. Saya kemudian bergabung dengan sebuah perusahaan rintisan yang namanya mungkin sangat asing di telinga masyarakat awam.
Berkarir di startup adalah mimpi yang jadi nyata
Startup tersebut adalah sebuah perusahaan fintech yang mempunyai visi sebagai one-stop solution buat anak-anak muda yang ingin berinvestasi di semua instrumen investasi, mulai dari emas, bonds, saham, reksadana sampai asset crypto.
Ini sangat challenging buat saya karena saya harus mengerjakan dari end-to-end. Selama ini, saya berada di middle-end dengan sesekali bekerja di front-end, sebagai orang yang berhubungan langsung dengan investor. Sekerang, saya mendapat tanggung jawab baru untuk meng-handle back-end.
Namun saya merasa enjoy mengerjakanya. Saya seolah mendapat kesempatan untuk belajar hal baru. Apalagi karena saya berada di startup yang baru beridiri, saya mendapat tanggung jawab untuk ikut membentuk budaya kerja perusahaan dan mentoring team yang berisi anak-anak muda.
Walaupun masih belum begitu lama, saya merasa kalau budaya kerja di startup sangat sesuai buat saya. Namun, saya tetap saja kesulitan saat ditanya soal pekerjaan saya oleh keluarga besar di Kalimantan.
Masih asing di telinga masyarakat
Seperti yang sudah saya singgung di atas, saya adalah produk dari tanah Kalimantan. Di sini, pekerjaan sebagai pegawai perusahaan BUMN atau PNS adalah impian keluarga dan seolah menjadi satu-satunya cara meraih kesuksesan.
Saya tidak bisa menyalahkan siapapun atas hal ini karena memang begitulah keadaannya. Iklim startup masih terpusat di kota-kota besar di Jawa. Jika kamu lahir dan sampai berkuliah di luar Jawa seperti di Kalimantan, niscaya kalau hanya segelintir orang yang mempunyai akses untuk bekerja di startup. Bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan dan kompetensi, tapi karena mereka memang tidak tahu. Di sini, harus diakui bahwa akses informasi masih sangat terbatas.
Saya cukup beruntung karena saya sempat mencicipi pendidikan di Jawa dan bahkan di luar negeri. Ini membuat saya bisa berkarir di startup seperti sekarang. Namun, karena akses informasi masih sangat terbatas, saya cukup sulit menjelaskan pekerjaan saya ke keluarga besar di sana.
Saya memiliki kebiasaan untuk mudik setiap akhir tahun. Di sana, budaya merayakan Natal sama persis dengan budaya merayakan Lebaran. Bedanya hanya ritual sholat Ied yang digantikan dengan Ibadah Natal saja. Setelah itu, kami akan mengunjungi rumah keluarga tertua dan makan bersama.
Saat makan bersama itu, pertama suatu kali paman saya bertanya soal pekerjaan saya seperti ini:
👴: gimana pekerjaan kamu sekarang? Lagi sibuk apa di kantor baru?
😃: kerjaan di kantor baru lebih banyak, sih daripada di kantor lama. Tapi menyenangkan, kok. Aku suka ngerjainnya.
👴: baguslah kalah gitu. Tapi, sayang banget loh kamu keluar dari tempat lama. Perusahaan yang kemarin, kan BUMN. Hidup kamu dan keluarga pasti terjamin hari tuanya. Daripada di tempat sekarang. Perusahaan baru, kan. Kamu engga takut kalau perusahaan kamu tiba-tiba bangkrut? Mendingan kamu daftar PNS aja tahun depan kayak anak paman. Hari tuanya terjamin. Kerjanya juga santai.
Itulah sekilas dari percakapan yang agak sedikit membuat saya sebal. Tapi, mau bagaimana lagi. Paman saya punya pandangan seperti itu karena itulah informasi dan realita yang dia tahu dan pahami. Akses internet berkecepatan tinggi saja masih terbatas, sudah tentu kalau penyebaran informasinya pun juga terbatas.
Indonesia membutuhkan lebih banyak startup yang berani untuk mendisrupsi rantai proses birokrasi yang panjang dan berbelit yang selama ini berlaku di negara ini. Startup dengan budayanya yang dinamis, diharapkan dapat menjadi partner pemerintah dalam upaya mengejar ketertinggalan dengan negara lain.
Dalam mengupayakan hal ini, akses informasi memang menjadi masalah yang harus segera di atasi. Saya cukup yakin ada banyak talenta-talenta berkualitas di Kalimantan dan di berbagai daerah pelosok lain yang menunggu untuk ditemukan dan diasah. Dan tidak ada tempat yang lebih baik dalam mengasah bakat-bakat muda potensial selain di startup.